Para korban mengikuti zoom meeting dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, LPSK, KKR Aceh, serta Bappeda dan Kesbangpol Pidie di Kantor Paska Aceh, Kamis (13/2/2025). |
Sedikitnya 20 lebih orang perwakilan dari para korban menyampaikan keresahannya kepada lembaga Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, serta Bappeda dan Kesbangpol Pidie.
Pertemuan tersebut berlangsung melalui zoom meeting dan dipandu LSM Paska Aceh, Kamis, 13 Februari 2025 dari Kantor Paska Aceh di Pidie.
Marniati (58) Lhok Panah merupakan salah satu korban yang menuntut hak hadir dalam fotum itu. Diakuinya, ia merupakan salah satu korban Pos Sattis yang pernah menerima bantuan modal usaha usai kick off penyelesaian pelanggaran HAM berat.
Namun Marniati mengaku bantuan yang berikan sarat kesenjangan, kemudian kartu berobat prioritas yang berikan juga sulit masih mengakses fasilitas kesehatan di daerah tersebut.
Selain itu, sambung Marniati modal usaha yang diterima juga tidak berkelanjutan, ia pun khawatir akan terputus dengan bantuan program keluarga harapan (PKH) prioritas yang selama ini diterima menyusul rasionalisasi anggaran negara.
"Bantuan yang diberikaan sangat ketimpangan sekali, ada korban dibangun rumah, dapat traktor dan bantuan lain juga. Sedangkan kami, PKH terancam tidak diberikan lagi," kata Marniati saat ditemui di Kantor Paska Aceh.
Lain pula cerita yang disampaikan Maryam (38), Nilawati (46) dan Hamdani (46). Mereka mengaku sebagai korban konflik -bukan kasus pos sattis-, namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah sebagai upaya pemerintah untuk pemenuhan hak-hak korban.
Nasib yang sama, diakui Maryam juga dialami olah puluhan dan bahkan ratusan korban lain di Pidie dan Kabupaten Pidie Jaya yang terus menuntut keadilan dari tindakan kekerasan masa lalu.
"Saya pernah disekap di tahanan Lhoknga dan menjadi korban tsunami juga, tapi tidak dapat perhatian pemerintah," ujar Maryam.
Dalam kesempatan itu, Direktur Paska Aceh, Faridah Haryani memandang pemerintah tidak serius menyelesaikan masalah kasus pelanggaran HAM di Aceh, terkhusus di Kabupaten Pidie.
Hampir dua tahun berlalu usai kick off penyelesaian pelanggaran HAM berat, para korban masih merasa fasilitas dan bantuan yang diberikan masih tersendat, salah satunya fasilitas kesehatan prioritas dan ketimbangan bantuan.
"Saya rasa pemerintah harus pro aktif dan perlu terus mengawal proses penyelesaian dari kick off ini terhadap korban agar berkelanjutan," ujar Faridah.
Selain itu, pemerintah harus memiliki data para korban konflik. Sehingga, sambung Faridah akan memudahkan proses penyelesaian dan pemenuhan hak para korban.
Paska Aceh mencatat ratusan korban konflik yang menjadi pendampingan pihaknya. Jika pemerintah serius, pihaknya siap menyampaikan data tersebut kepada pemerintah.
"Yang kita sedihkan, pemerintah Kabupaten Pidie tidak punya data korban konflik, termasuk data kick off yang 56 orang itu dan tidak pernah minta kepada kami," ujar Faridah.
Ia berharap memasuki pemerintahan baru, pemerintah daerah perlu mendata kembali para korban dengan kriteria yang kongrit dan sekaligus meluncurkan program pemenuhan hak-hak para korban.
"Ini menjadi PR pimpinan daerah ke depan dan harusnya pimpinan daerah ke depan menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak-hak para korban," sambungnya.[]
Posting Komentar untuk "Para Korban Konflik di Pidie Tuntut Pemerintah Pemenuhi Hak"